Semarang, 16:16 WIB.
Cuaca sedang menyenangkan untuk sore ini. Gue menunggu Landith, perempuan bernama asli Alana Pramaditha, yang memilih escape sejenak dari pekerjaannya. Dan kami menentukan kota ini sebagai pelarian. Entahlah. Tapi sepertinya ada sesuatu yang menarik dari kota ini.
—
@Just Inn, Semarang. 15:10 WIB
Jangan tanya mengapa aku berada disini. Sebagai perempuan penikmat jalan jalan murah tidak sulit menemukan tempat singgah dengan harga dibawah 150 ribu per malam, dengan lokasi strategis di kota ini. Hahaha.. Begitulah. Aku memutuskan escape ke kota ini. Dan, Nara, si Aksata Nararya Adyatma itu, juga ikut melarikan diri ke Semarang. Tapi, jangan tanya dia bermalam dimana. Pastilah di hotel serba berlian. Dan memang seperti itulah kami.
—
Alana Pramaditha :
“Sepertinya aku menyukai kota ini.”
Aksata Nararya Adyatma :
“Pelarian yang lo nikmati?”
Alana Pramaditha :
“Bukannya sama denganmu?”
Aksata Nararya Adyatma :
“A lil bit. But Bandung still the place you wanted to go for short escape.”
Alana Pramaditha :
“Akan ada perjalanan berikutnya bukan?”
Aksata Nararya Adyatma :
“Sepertinya jiwa sedang lelah dengan pencarian, tapi masih dahaga ya?”
Alana Pramaditha :
“Bisa jadi. Tapi ya, bisa jadi.”
Aksata Nararya Adyatma :
“Jangan lama lama dandannya. Kering gue nunggu lo. Dandan lama juga hasilnya segitu doang :D”
Alana Pramaditha :
“Hahaha.. ini udah di taksi. Pastikan tempat makannya menyajikan yang belum pernah disajikan :D”
Aksata Nararya Adyatma :
“Pret. Cepet!”
—
@Du Portrait Resto & Cafe, Semarang Marina.
“Gue pikir dengan melarikan diri seperti ini bukan penyelesaian yang baik. Lo gimana?”
“Tapi tergantung atas masalah apa kan?”
“Iya. Tapi apa melarikan diri itu jawaban?”
“Temporary, yes.”
“But not for continuously.” Gue menyandarkan bahu.
“Sampai lelah itu berhenti.” Landith menyesap udara seperti sedang yoga.
“Sudah kesekian kalinya gue escape for nothing. I found myself in an empty sheet. Just blank.”
Landith memperhatikan pajangan galeri foto-foto travel berkelas dunia serta buku-buku tentang photography yang terpajang di sepanjang dinding kafe.
“Kita akan berkeliling dunia. Suatu saat nanti, kan?” Katanya.
“Himalaya.” Gue menyahut cepat.
“Bus Double Decker, Inggris.” Katanya antusias.
“Jangan lupa, hamparan pasir putih kepulauan pasifik.” Gue berimajinasi.
“Dan suatu senja di kedai kopi di Jerman.”
“Dengan senyum manis mas mas bartender di bar di malam hari.”
Dan kami saling menatap, lalu tertawa terbahak.
Dunia ini dalam lingkar benang yang saling terhubung. Saling mengait untuk mempertemukan.
—